Categories
General

Pendaftaran Kompetisi Festival Film Dokumenter 2012

Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta kembali membuka pendaftaran kompetisi film dokumenter untuk tahun 2012. Salah satu festival film di Indonesia yang paling konsisten menghelat kompetisi tahunan ini, akan berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta pada bulan Desember mendatang.

Kompetisi terbuka untuk umum, dan tanpa biaya pendaftaran. Penerimaan karya dimulai bulan Juni 2012 sampai 5 Oktober 2012. Kompetisi FFD akan memilih film finalis untuk setiap kategori yang akan ditampilkan dalam puncak festival di bulan Desember.

Kategori: Film Dokumenter Panjang, Film Dokumenter Pendek, dan Film Dokumenter Pelajar

Persyaratan Umum:

  • Kompetisi terbuka untuk warga negara Indonesia.
  • Film peserta kompetisi harus film dokumenter (panitia memiliki hak untuk mengkualifikasikan apakah film peserta termasuk film dokumenter atau tidak).
  • Karya film merupakan produksi tahun 2011 – 2012.
  • Film tidak berupa profil lembaga/perusahaan, iklan layanan masyarakat, trailer film dan video musik.
  • Film utuh tanpa disertai potongan jeda untuk iklan (blank spots for commercial break).
  • Materi film (objek, musik, stock shoot & lain-lain) tidak melanggar hak cipta. Pelanggaran & gugatan atas hak cipta terhadap karya yang diikutkan dalam kompetisi ada di luar tanggungjawab Panitia.
  • Format materi karya DVD Video Pal/miniDV Pal.
  • Pemutaran film akan dilakukan dalam format DVD.
  • Hak Cipta tetap dimiliki oleh Peserta.
  • Panitia berhak mempergunakan materi yang diikutsertakan dalam kompetisi untuk kegiatan Komunitas Dokumenter.
  • Karya diterima Panitia paling lambat 5 Oktober 2012.
  • Untuk Kategori Film Panjang, durasi film minimal 40 (empat puluh) menit, termasuk credit title.
  • Untuk Kategori Film Pendek, durasi film maksimal 40 (empat puluh) menit, termasuk credit title.
  • Untuk Kategori Film Pelajar (SD – SMA), peserta terbuka untuk pelajar, durasi film maksimal 30 (tiga puluh) menit, termasuk credit title.
  • Film-film yang lolos seleksi yang masuk ke penjurian final (kecuali kategori film pelajar) wajib menyerahkan kembali karya film dengan sub–title Bahasa Inggris.

Kelengkapan Pendaftaran:

  • Formulir pendaftaran yang telah diisi dengan lengkap dan benar.
  • Materi film: Preview Copy (Materi film yang akan digunakan saat seleksi administrasi) dalam bentuk DVD Video Pal atau MiniDV Pal, dan Screening Copy (Materi film yang akan diproyeksikan ke layar lebar untuk keperluan penjurian dan pemutaran saat festival) dalam bentuk DVD Video Pal atau MiniDV Pal (Master Quality).
  • Foto potongan adegan film/Still photo berbentuk file elektronik/digital dengan ukuran resolusi 300dpi format .jpeg dalam CD terpisah (digunakan saat seleksi administrasi dan keperluan cetak katalog).
  • Sinopsis film dalam bahasa Indonesia dan Inggris (maksimal 500 karakter atau ½ halaman kuarto).
  • Fotokopi tanda pengenal: Kartu pelajar untuk peserta kategori pelajar. Dan KTP/SIM/Paspor untuk peserta kategori film umum.

Semua kelengkapan pendaftaran dikemas dalam satu amplop tertutup dan dikirim ke sekretariat panitia dengan alamat:

Festival Film Dokumenter 2012

Jalan Sajiono No. 15, Kotabaru

Yogyakarta 55224, Indonesia

Telp: 0274-7102672

Info lengkap:

E-mail: ffdnews@gmail.com & ffdnews@yahoo.com

Web: www.festivalfilmdokumenter.org

 

 

KOMUNITASFILM.ORG

Categories
General

Opini: Gajah di Pelupuk Mata Pembuat Film dan Video di Indonesia

Ada semacam kesulitan bagi kita jika hendak membicarakan persinggungan antara film dan video dalam konteks Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya semacam kegagapan dari kalangan pelaku film dan video sendiri pada awal kehadiran kamera video yang datang secara instan di tengah masyarakat. Kegagapan ini membuat mereka meraba-raba dan pada akhirnya menciptakan suatu kekosongan, bahkan kekeliruan dalam menafsirkan perbedaan utama dari kedua medium tersebut. Oleh sebab itu untuk membaca persinggungan antara film dan video di Indonesia lebih mungkin dilihat dari aspek sosial daripada aspek artistik maupun estetiknya.

Film dan Video Beda

Jika kita merujuk pada definisinya, film dan video adalah dua hal berbeda. Film dilihat sebagai kelanjutan dari tradisi seni pendahulunya yang lahir dari perkembangan teknologi (film disebut sebagai “seni ketujuh” dalam tradisi kebudayaan Prancis). Sebagai strategi ekspresi, film tetap mengikuti tradisi baku di bidang seni pertunjukan konvensional (dalam hal ini tradisi teater). Kata “sinema” sendiri bahkan merujuk pada tradisi panggung: sebuah “ruang gelap” di mana terjadi aktivitas menonton suatu bentuk pementasan, pertunjukan (Hafiz, Forum Lenteng, 2011). Sementara André Bazin, kritikus film dari Prancis, berpendapat bahwa konsepsi tentang sinema, pada dasarnya, telah muncul sebelum adanya teknologi film itu sendiri. Ide bawaan yang terdapat pada “film” dan “sinema” muncul dari hasrat untuk mereproduksi realitas sebagaimana yang dirasakan oleh manusia. Dengan demikian, film (teknologi canggih itu) berasal dari dorongan mendasar untuk menghadirkan kembali “yang nyata” dari realitas sosial.

Dari pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa film dan sinema berdiri sendiri karena hasrat tradisi berkesenian untuk menghadiran kembali apa “yang nyata” sedetail mungkin. Alih-alih mengatakan bahwa film dan sinema muncul karena teknologi, maka lebih tepat untuk menyimpulkan bahwa film dan sinema adalah sebuah pencapaian puncak dari tradisi seni dalam kebudayaan dunia yang menggabungkan pelbagai medium kesenian yang hadir melalui temuan teknologi (Hafiz, 2011).

Sementara jika kita mendefinisikan video maka yang akan kita temukan adalah sebuah bentuk teknologi yang mampu memproses, menangkap, merekam, menyimpan, mentransimisi, dan merekonstruksi rentetaan gambar diam secara elektronis yang kemudian menghasilkan serangkaian gambar bergerak (Wikipedia). Dari sekian banyak pengertian tentang apa itu “seni video”, pernyataan dari Veronika Kusumaryati, kritikus film Kelompok Kajian Film IKJ, mungkin dapat membantu. Ia menjelaskan bahwa “medium video menyangkut perangkat berbasis teknologi elektronik dan berisi citraan yang merupakan reaksi terhadap teknologi itu sendiri. Sedangkan Mahardika Yudha, peneliti dari Forum Lenteng, menjelaskan bahwa video lahir dari rahim televisi (media massa). Televisi pulalah yang kemudian menjadi landasan bagi persebaran, perkembangan, dan penggunaan medium video. Di sini pendapat Mahardika memiliki kesamaan dengan pendapat Veronika, bahwa seni video lahir sebagai bentuk tanggapan atas teknologi itu sendiri (Hafiz, 2011).

Berpijak pada pengertian di atas, kita dapat melangkah lebih jauh untuk melihat persinggungan antara film dan video. Sejatinya, persinggungan ini dapat diutarakan dengan kalimat sederhana: kedua medium tersebut sama-sama menangkap objek dan menampilkannya pada permukaan layar. Namun pemahaman ini menjadi sesuatu yang dilupakan. Tidak adanya kesadaran dalam memahami esensi film dan video menyebabkan para praktisi (khususnya di Indonesia sendiri) terjebak dalam euforia kecanggihan teknologi semata sehingga yang dilihat oleh mereka hanyalah aspek praktis dalam aktivitas produksi dan distribusi semata. Bahkan sejak periode 80-an hingga sekarang, persinggungan kedua medium tersebut di Indonesia tidak dilihat sebagai pertemuan yang berpotensi menciptakan bahasa visual dan elemen artistik yang khas dan terus berkembang. Di Indonesia keduanya hanya ditempatkan sebagai sarana komunikasi (bahkan lebih sempit lagi: hiburan) yang sebisa mungkin diterima oleh masyarakat.

Kilas Balik Video sebagai Alat Produksi Film

Apa yang terpikirkan ketika kita berbicara tentang film dan video? Tidak lain adalah hal yang selama ini menjadi referensi visual sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu sinetron (sinema elektronik. Di Indonesia sinetron cukup memperlihatkan singgungan antara kedua medium tersebut, yaitu “sinema” (yang merujuk pada “film”) dan “elektronik” (yang merujuk pada video sebagai piranti elektronis).

Sinetron bisa menjadi pijakan pertama dalam membicarakan persinggungan ini karena ia merupakan sebuah produk budaya yang mengamini perkembangan media dan teknologi, sekaligus sebagai cara untuk menyiasati permasalahan ekonomi yang melanda pada masanya. Ketika produksi film di tahun 80-an mengalami kemerosotan karena tingginya biaya, para pembuat film mengalami kesulitan untuk menarik massa agar datang ke bioskop. Maka muncul sebuah strategi alternatif: film yang justru mendatangi massa-nya melalui media televisi. Fritz G. Schadt, salah satu penggiat perfilman Indonesia pada dekade 1970-1980-an pernah mengatakan bahwa televisi adalah medium yang khas rumah tangga; “film” tidak lagi hadir di bioskop melainkan di dalam rumah kita sendiri. Kehadiran televisi membuat para pelaku film tidak lagi memproduksi karya dengan peralatan yang mahal dan dengan proses yang rumit. Mereka memanfaatkan piranti video (dan televisi) yang lebih murah dan cepat. Berangkat dari titik inilah kemudian film dan video (yang diwakili oleh televisi) mengalami persinggungan yang konkrit di tengah-tengah kita.

 

Sinetron “Gara-gara KTP Jatuh Cinta” (2011) – dok. Edo Rusyanto

Catatan sejarah memperlihatkan bahwa kehadiran sinetron menjadi bagian penting dalam soal ini, yaitu ketika di tahun 1985 sebuah film televisi berjudul Gadis Kami Tercinta arahan sutradara Tiar Muslim memenangkan piala Vidia dalam Festifal Film Indonesia di Bandung. Lebih dari itu, kemajuan teknologi video kala itu terlihat pada fenomena merebaknya jumlah video rental (jumlah tempat penyewaan video ketika itu mencapai 1.200 buah), semakin meluasnya kegiatan perekaman yang menggunakan pita magnetis di masyarakat, dan stasiun TV nasional TVRI (Televisi Republik Indonesia) yang semakin gencar menggunakan video dalam memproduksi program acara, termasuk sandiwara. Arswendo Atmowiloto sebagai orang yang memperkenalkan istilah “sinema elektronik” dan Ali Shahab sebagai salah satu pelopor produksi sinetron pada dekade 1980-an percaya bahwa “…yang akan merajai dunia film bukan lagi bahan baku seluloid, tapi video” (Majalah Tempo Online, Agustus 1985).

Penggunaan video untuk menghasilkan karya film terus berlanjut. Terutama ketika pertengahan tahun 90-an muncul semacam gerakan yang disebut “Sinema Gerilya” [1]. Lalu lahir generasi muda yang dibesarkan oleh beragamnya kanal-kanal televisi (khususnya stasiun MTV / Music Television yang pertama kali hadir di Indonesia pada 1993). Mereka sangat intens dalam memproduksi video musik, video iklan, dan video dokumenter. Berbagai festival film pendek bermunculan, seperti Festival Film-Video Independen Indonesia dan Jakarta International Film Festival (JIFFest) di tahun 1999, satu tahun setelah Reformasi 1998. Kemunculan film Kuldesak (1998) menguatkan hasrat untuk menciptakan kultur “sinema independen” [2]. Hal ini kemudian berlanjut pada maraknya aktivitas produksi film panjang (feature) yang dilakukan dengan kamera digital kemudian mentransfernya ke dalam format pita seluloid 35 mm untuk diedarkan ke gedung-gedung bioskop (Gotot Prakosa, 2001: 13).

Hingga awal tahun 2000-an video masih hanya digunakan sebagai alat untuk merekam dan membuat film semata. Meskipun ada gerakan lain di awal tahun 90-an yang mendayagunakan video sebagai medium ekspresi seni lain (baca: seni rupa). Sebutlah Heri Dono sebagai salah satu pelakunya melalui karya video Hoping to Hear from You Soon (1992) dan Krisna Murti lewat karya 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai (1993). Tetapi apa yang mereka lakukan belum memberikan dampak berarti terhadap kesadaran akan potensi medium video yang sesungguhnya dapat berdiri sebagai medium artistik. Bahkan, pasca Reformasi 1998 yang membuka potensi kebebasan berekspresi dan dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk dapat secara bebas menggunakan medium video pun hanya ditanggapi dengan hadirnya Komunitas Film Independen (Konfiden) tahun 1999. Kenyataan ini hanyalah gerakan kultural repetitif yang kembali menafsirkan video sebagai alat untuk membuat film semata [3]. Pada tahun 2001, ruangrupa Jakarta membuat semacam proyek bernama Silent Forces dan melakukan riset awal untuk membaca perkembangan seni video di Indonesia. Hasilnya adalah hampir 90% karya yang didapatkan dari proyek itu merupakan film pendek dan dokumentasi performance art oleh kalangan seniman (Hafiz, 2011).

Gajah di Pelupuk Mata Pembuat Film Indonesia

Pemaparan di atas merupakan bukti bahwa video di Indonesia masih dijadikan alat untuk “menyempurnakan” tradisi seni terdahulu. Video menjadi piranti untuk memindahkan panggung teater ke dalam bentuk tampilan layar datar. Dengan kata lain, produksi video adalah produksi film. Atas pertimbangan kendala dari alat-alat yang lama (baca: produksi film konvensional dan mahal), para pembuat film menggunakan video (dengan mental filmmaker) untuk terus menghidupkan sinema, yang justru berujung pada penurunan kualitas estetik film itu sendiri. Terlebih lagi karena kemunculan sinetron, film-film yang hadir di televisi (juga di layar lebar), mau tidak mau harus tunduk pada kepentingan industri kejar tayang untuk memuaskan hasrat penonton yang sudah terlenakan dengan visual-visual yang tidak berbobot [4].

Kenyataan tersebut hadir karena sebagian besar pelaku film Indonesia pada masa itu tidak menyadari bahwa video, sesungguhnya, memiliki attitude dan bahasanya sendiri, bahwa video memiliki potensi sebagai satu bentuk seni yang utuh, yang dapat berbeda dari film. Berbeda dengan di negara lain, kehadiran video dengan cepat disadari potensinya oleh para seniman luar, misalnya di Amerika Serikat. Sebutlah nama-nama seperti Howard Fried, Bucky Schwart, Frank Gillete, Nam June Paik, dan sebagainya. Mereka percaya bahwa video memiliki kemampuan yang luar biasa karena sifatnya yang elektronis mampu memanipulasi citraan (Schadt, 1985). Para pelaku seni ini berusaha mencari celah untuk menjadikan video sebagai sebuah bentuk kesenian baru/new media art (Schadt, 1981). Sementara di Indonesia, video adalah alat sosial (juga finansial) untuk terus menghidupkan film, alih-alih sebagai media yang potensial menciptakan temuan artistik yang baru.

Dengan kehadiran video, produksi film menjadi mudah, distribusi menjadi lebih gampang, dan dalam hal presentasi karya pun video tidak sulit untuk dipindahkan ke dalam berbagai format tayang. Hingga sekarang, sangat sedikit sineas Indonesia yang menggunakan pita seluloid untuk memproduksi film. Mereka lebih memilih video (baik dalam format analog maupun digital) dengan berbagai pertimbangan ekonomisnya. Terlebih jika kita menyadari kehadiran sinetron yang tetap bertahan dan bahkan menjadi primadona di hampir seluruh stasiun televisi nasional saat ini. Hal ini tentu menjadi bukti nyata bahwa video memang merajai aktivitas produksi gambar bergerak yang menjadi bahan hiburan tontonan masyarakat, bukan sebagai medium kesenian yang otonom.

Mungkin benar bahwa sejauh ini film dan video saling melengkapi. Akan tetapi sejauh mana mereka bisa saling mengisi? Barangkali jawabannya hanya ada pada level peningkatan kuantitas, bukan pada tataran pertarungan bahasa tutur, peningkatan kualitas, pemahaman dan penafsiran konsep, serta eksplorasi kreatif.

(Kemungkinan) Gajah di Pelupuk Mata Pembuat Video

Lantas bagaimana dengan munculnya fenomena berkesenian dengan medium video di Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir? Benar memang, dalam satu dekade terakhir, para pelaku seni sudah menyadari bahwa video dapat berdiri sebagai medium seni tersendiri. Terutama sejak kehadiran ruangrupa dengan OK. Video-nya yang dianggap menjadi salah satu tonggak perkembangan seni video di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui OK. Video banyak seniman muda yang mulai melirik dan mengutak-atik medium yang sangat luar biasa itu. Namun, tetap saja ada “kekosongan”, ada bayang-bayang gajah yang samar di depan mata.

Gali lubang, tutup lubang. Dalam beberapa hal, seni video ditanggapi sebagai satu hal yang berada sejauh-jauhnya dari persoalan film. Seakan ingin terlepas dari dosa para pendahulu yang aktif di tahun 80 dan 90-an. Tetapi bisa jadi justru terjadi hal yang sebaliknya: muncul semacam glorifikasi berlebihan dari seniman hari ini untuk memperlakukan seni video sebagai hal yang tidak dapat dilihat dari perspektif film dan sinema, dan oleh karena itu muncul kecenderungan untuk membuat karya seni video sebebas-bebasnya. Para pembuat video Indonesia seakan tidak membutuhkan referensi pengetahuan film dan sinema, dan hanya bersandar pada kecanggihan luar biasa dari medium video ini.

Keyakinan seperti inilah yang pada akhirnya membuat kita bisa tergagap jika, misalnya, ada karya seni video yang dibuat dengan menggunakan medium film (seluloid). Oleh sebab itu sudah seharusnya kita dapat menyadari usaha OK. Video – Jakarta International Video Festival yang menghilangkan kata art dari istilah video art dan membiarkan kata “video” berdiri sendiri. Keputusan ini dapat dilihat sebagai strategi untuk membuka segala kemungkinan yang dapat dieksplorasi dari medium video sehingga kita tidak terkungkung pada soal seni video yang diartikan secara sempit: melukis dengan video.

Apa yang selalu menjadi masalah utama adalah kultur berkesenian kita yang tidak berjalan secara runut. Seni video dilahap oleh para pembuatnya tanpa menyadari akar sejarah munculnya medium ini. Mereka tidak pula memahami sejarah perkembangan dan kontribusi sinema dan film dalam persinggungannya dengan video. Kalau pun ingin dikatakan bahwa video tidak memiliki induk, bahwa dia muncul dari budaya media massa?berbeda dengan film yang merupakan tetasan telur dari seni teater?kita tidak dapat memungkiri bahwa video, bagaimana pun bentuknya, adalah karya moving image (citra bergerak) yang tidak dapat begitu saja dipisahkan dari film sebagai pembandingnya, karena mereka sama-sama memiliki kode-kode visual yang dapat dibaca (bahkan) dengan cara yang sama.

Dari sekian banyak karya seni video yang dibuat oleh seniman Indonesia, mungkin hanya sedikit yang dapat kita anggap memiliki kesadaran tentang esensi (signifikansi perspektif) film di dalamnya. Sebutlah misalnya Alam: Syuhada (2005) karya Hafiz yang masuk dalam kompilasi 10 Tahun Seni Video Indonesia (2000-2010).

 

Alam: Syuhada (2005) karya Hafiz (dok. KF.ORG)

Karya ini dengan genial mampu menghadirkan representasi satu fragmen dalam sebuah bingkai sehingga membuka kemungkinan bagi penonton untuk membaca kode-kode visual secara horizontal untuk merefleksikan keseharian sang tokoh dalam video itu dan juga pengalamannya selama di Jakarta (Akbar Yumni, 2011). Cara menonton horizontal ini merupakan gagasan Barthes untuk menginterpretasikan kode visual dalam film sebagai hal yang dapat diamati dalam bentuk fragmen (pecahan). Di dalam karya video Hafiz, hal itu sangat dimungkinkan. Akan tetapi karena pembuatnya mengemas bahasa video, maka tata cara pembacaan fragmen-fragmen pada film itu tidak dibutuhkan. Sebab tampilan visual dalam video itu sendiri sudah menjadi satu kesatuan fragmen yang utuh, tidak perlu dipecah-pecah. Kode-kode visual semacam itu hanya akan muncul ketika pembuat videonya menyadari dan mengerti esensi bahasa film dalam meramu bahasa video. Dan pembacaan seperti ini hanya akan disadari ketika kita juga menyadari esensi dari film dan bahasanya. Oleh sebab itu, karya video Alam: Syuhada tidak serta merta berhenti pada bentuk seni video yang sempit, tetapi juga dapat dilihat sebagai karya film eksperimental.

Karya video lain yang mungkin bisa kita lihat sebagai karya yang tidak serta merta melupakan esensi dari film adalah karya-karya video akumassa yang memiliki standar teknis yang merujuk pada bahasa dasar pembuatan film. Melihat video akumassa mengingatkan kita pada konsep penyutradaraan yang dilakukan Hitchcock, yang “memberikan otoritas” kepada subjek di dalam bingkai untuk membangun ruang dan jalur sirkulasinya sendiri. Namun pengemasan gaya bahasa yang mengutamakan eye level dan pengambilan gambar yang selektif untuk menguatkan objektivitas substansi, serta tidak menekankan pada durasi: awal, tengah, akhir; klimaks-antiklimaks, menjadikannya sebagai karya yang memiliki bahasa video tersendiri.

Pemahaman seperti inilah yang harus dimiliki oleh para pembuat film dan video: bahwa persinggungan di antara kedua medium tersebut bisa saja terjadi dalam tataran estetis, bukan sekadar pada tataran sosial (apalagi finansial) yang hanya memandang video sebagai alat memudahkan aktivitas produksi dan distribusi semata. Dalam konteks ini, fungsi bahasa viual dalam film dijadikan sebagai pembongkar aktivitas penciptaan karya video sendiri, begitu juga sebaliknya.

Merupakan suatu keniscayaan bahwa karya video, sama halnya dengan film, dapat dilihat dari berbagai perspektif dan interdisiplin pengetahuan. Perspektif film pun, pada dasarnya, dapat dijadikan sebagai salah satu pisau bedah dalam mengkaji karya video yang memiliki attitude dan bahasanya sendiri itu. Dan merupakan suatu keharusan bagi pembuat karya seni video untuk memiliki kesadaran tentang bahasa film dan konsepsi sinema dalam berkarya.

Film dan video memang berbeda, tetapi keduanya sesungguhnya bergerak ke arah yang sama untuk saling bertemu dan melengkapi. Jika kita terus tenggelam dalam euforia kemudahan dan kecanggihan yang ditawarkan video untuk menutupi persoalan-persoalan teknis film dan sinema, kita tidak akan bisa lepas dari senyum jahil sang gajah yang dengan setia nangkring di depan mata, membutakan kita dari potensi-potensi mengejutkan dari persinggungan antara film dan video itu sendiri.*

 

Manshur Zikri adalah mahasiswa Ilmu Kriminologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Ia pernah mengikuti program Workshop Penulisan Kritik Seni Rupa & Budaya Visual 2011 yang diselenggarakan ruangrupa. Zikri bergiat di Forum Lenteng, sebuah komunitas yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan seni video. Kini ia aktif mengelola Jurnal Segi Empat. Email: manshurzikri@yahoo.com

Catatan:

[1] Gerakan ini dipelopori oleh Seno Gumira Adjidarma, Marseli dan kawan-kawan (mahasiswa Institut Kesenian Jakarta). Pengertian gerilya di sini merujuk pada aksi memproduksi film secara “bergerilya” karena sulitnya mendapatkan izin produksi pada masa Orde Baru. Namun, pada sisi artistik atau temuan bentuk, sinema gerilya tidak punya dampak signifikan bagi perkembangan film cerita, film eksperimental, dan karya seni video di Indonesia.

[2] Pada perkembangan selanjutnya cita-cita ini diikuti dengan dideklarasikannya sebuah gerakan bernama I Cinema oleh Riri Riza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani dan kawan-kawan. Mereka membayangkan sebuah gerakan industri film yang menguasai pasar Indonesia dengan diputarnya karya-karya anak bangsa di bioskop-bioskop Studio 21. Untuk bacaan lebih lanjut, lihat Gotot Prakosa, “Ketika Film Pendek Bersosialisasi” (Jakarta: Yayasan Layar Putih, 2001).

[3] Komunitas ini menggerakkan anak-anak muda di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) untuk membuat film dengan jargon yang sangat terkenal: “membuat film itu mudah”. Hal ini membawa pandangan di tengah masyarakat bahwa film adalah sesuatu yang “trendy” dan “cool” bagi anak-anak muda di Indonesia. Secara tidak langsung hal ini juga membentuk penonton film-film nasional yang diproduksi oleh komunitas yang ditandai oleh besarnya minat penonton film Indonesia di bioskop. Meskipun ujung-ujungnya tetap industrilah yang mendapat berkahnya.

[4] Padahal, pada masa awal sinema elektronik, kualitas karya yang dihasilkan sangat baik. Beberapa sutradara yang berkualitas itu di antaranya adalah Irwansyah dengan karyanya yang sangat terkenal, Sayekti dan Hanafi.

Categories
General

Open Submission: OK. Video FLESH – 5th Jakarta International Video Festival 2011

OK. Video FLESH melihat daging sebagai metafora dari entitas biologis tubuh manusia yang berubah menjadi entitas digital (citraan, suara, teks) melalui perkembangan teknologi audiovisual. Ia juga merepresentasikan video yang semakin memperlihatkan sifat-sifat organik: tumbuh dan berkembang di dalam ruang virtual yang melampaui batas spasial dan temporal, bertransformasi ke dalam berbagai medium, dan terus-menerus bereproduksi karena sifatnya yang viral. Fenomena ini terus dirayakan oleh masyarakat dalam beberapa tahun terakhir melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Festival ini mengajak siapapun untuk sama-sama merefleksikan berbagai pertanyaan: sejauh mana video dalam sifatnya yang organik bersinggungan dengan aspek sosial, politik, dan budaya kontemporer? Apakah masyarakat sedang betul-betul merayakan demokrasi atau sekadar ilusi virtual?, bagaimana persilangan antara yang privat dan yang publik terus bergerak dan berkembang?, bagaimana sistem sosial dan kekuasaan berhadapan dengan perubahan?, konsekuensi apa yang kemudian terjadi dalam kaitannya dengan isu sejarah, tradisi, agama, budaya urban dan rural, budaya populer, media massa, seksualitas, identitas, bahkan kekerasan? OK. Video menempatkan fenomena tersebut sebagai kemungkinan yang hadir untuk dirayakan, dibaca, dan dimaknai secara kritis.

OK. Video Festival fokus pada karya-karya non-naratif dan terbuka bagi rekonstruksi, manipulasi rekaman, juga berbagai eksperimen bahasa audiovisual. Kami menerima karya video dengan berbagai pendekatan. Tiga karya terbaik akan mendapat penghargaan khusus dan diumumkan pada pembukaan OK. Video 2011 di Galeri Nasional Indonesia.

Kami menerima karya video dalam format: DVD (hardcopy) & data lunak (softcopy melalui tautan video untuk diunduh) / Durasi 3 – 15 menit / Produksi 2009 – 2011 / Batas waktu pengiriman 31 Agustus 2011 / Pendaftaran karya gratis / Kunjungi: www.okvideofestival.org untuk mengunduh formulir pendaftaran

Berikut ini adalah alamat ruangrupa jika anda memilih mengirimkan karya video anda dalam format DVD (hardcopy):

ruangrupa

Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6

Jakarta Selatan, 12820, Indonesia

T/F: +62 21 8304220

www.ruangrupa.org email: info@okvideofestival.org

OK. Video – Jakarta International Video Festival adalah festival seni video internasional pertama di Indonesia yang telah diselenggarakan sejak 2003 oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta.

OK. Video membuka ruang bagi karya-karya yang membahas fenomena sosial dan budaya di Indonesia dan mancanegara dalam format festival dengan tema spesifik.

Dukung OK Video: bantu sebarkan materi ini dengan menampilkannya pada situs, blog, facebook, twitter atau akun sosial lainnya.

 

Categories
General

Jogja Movie Meeting Point Edisi Perdana Putar Empat Film

YOGYAKARTA – Pada tanggal 5 Mei 2011 yang lalu di Moviebox Seturan Yogyakarta diadakan Jogja Movie Meeting Point #1. Acara pemutaran dan diskusi film komunitas film berbasis kampus se-Yogyakarta ini diselenggarakan atas kerjasama Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF), 12,9 AJ Kine Klub Universitas Atmajaya, Cinema Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Forum Film MMTC, Fiagra Universitas Gadjah Mada, Kine Club Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Kompor Universitas Islam Indonesia dan Avikom UPN Veteran Yogyakarta.

Pada edisi perdana tersebut diputar beberapa film, yaitu Dimensi (12,9 AJ Kine Klub), Sang Layang (Ciko UMY), Beriak di Dalam (Avikom UPN) dilanjutkan diskusi dengan para sutradara film tersebut beserta pembicara tamu, Yosep Anggi Noen.

Dimensi bercerita mengenai seorang perempuan yang dalam satu momen hidupnya dikelilingi banyak orang yang sedang mengalami kesulitan, mulai dari keluarganya, temannya, hingga pacarnya. “Film ini memakan waktu 3 hari untuk syuting dan 2 bulan untuk editing” ujar Jatmiko Kresnatama, sutradara film Dimensi.

Sang Layang berkisah tentang persahabatan 3 anak kecil dan hubungan mereka dengan sebuah layang-layang. “Secara garis besar, film ini ingin memberikan gambaran tentang arti sebuah tanggungjawab dalam persahabatan,” ungkap Ridwan Wisnu Oka, sutradara film Sang Layang.

Beriak di Dalam mengangkat kisah mengenai hubungan mahasiswa perantauan dari Malaysia dengan mahasiswa dari Indonesia saat momen final Piala AFF tahun lalu. “Ide besar film ini diambil dari masalah perselisihan Indonesia dan Malaysia yang kerap muncul, mulai dari bidang politik hingga budaya,” ujar Edo R. Rahman, sutradara film Beriak di Dalam.

 

Yosep Anggi Noen beranggapan bahwa film-film komunitas film berbasis kampus identik dengan karya-karya dari pendahulu mereka, karena mereka mendapatkan referensi dari dalam komunitas mereka. “Misalnya Ciko UMY identik dengan anak-anak, 12,9 AJ Kine Klub identik dengan galau, serta Avikom yang identik dengan nasionalisme. Sudah saatnya mencari referensi di luar komunitas sehingga mendapatkan ide yang baru dan fresh,” ujarnya.

Acara yang dihadiri 65 orang tersebut ditutup dengan pemutaran film tamu karya Yosep Anggi Noen, It’s Not Raining Outside.

Edisi kedua dari Jogja Movie Meeting Point akan diadakan hari kamis tanggal 19 Mei 2001, pukul 19.00 wib di Moviebox, Jl. Seturan C 12A Yogyakarta. Pada edisi kedua tersebut akan diputar film dari Kine Klub UGM, Forum Film MMTC, dan Kompor UII dengan menghadirkan pembicara tamu Ifa Isfansyah, sutradara film Garuda di Dadaku.* (Damar Ardi/KF.ORG)

Categories
General

Film Pendek dari Palu Dikeroyok Film dari Jakarta dan Yogyakarta

SOLO, JAWA TENGAH – Lima film telah dipilih sebagai Nominasi Ladrang Award 2011 dari 169 film yang masuk proses kuratorial Festival Film Solo, yakni Territorial Pissings (Jason Iskandar, Jakarta), Perjalanan Untuk Kembali (Mulyadi Witono, Jakarta), Wrong Day (Yusuf Radjamuda, Palu), Say Hello to Yellow (BW Purba Negara, Yogyakarta), dan Bermula dari A (BW Purba Negara, Yogyakarta).

Proses kurasi film dilakukan oleh tiga kurator, yakni Bayu Bergas pada ide cerita, Ayu Mitha Radila pada musik-scoring, dan Joko Narimo pada sisi teknis film. Selanjutnya lima film yang lolos sebagai nominasi Ladrang Award akan diajukan pada tiga juri yang terdiri dari Seno Gumira Ajidarma, Swastika Nohara dan Joko Anwar.

Terpilihnya film Wrong Day – yang disutradarai Yusuf Radjamuda – menjadi salah satu finalis, terhitung mengejutkan, sebab ia mampu menyelinap di tengah-tengah gempuran film pendek dari Jakarta dan Yogyakarta yang menyerbu Festival Film Solo.

“Saya memang berharap bisa masuk nominasi pada kompetisi tersebut, tapi sebenarnya saya tidak pernah memprediksi. Niat mengirimkan film hanya supaya karya kami dari Palu bisa ditonton minimal oleh kurator film, dan tentu saja masuk dalam database Festival Film Solo,” terang Yusuf Radjamuda yang akrab dipanggil Ucup ini.

Belajar Film Secara Otodidak

Ucup dan Komunitas Jalin Sulawesi Tengah yang ia kelola memang terbentuk bukan dari sekolah film. Tapi justru hal tersebut yang membuat mereka semakin kukuh untuk berkarya.

“Kami di Palu masih sangat baru di dunia perfilman dibanding dengan daerah-daerah lain, terutama Pulau Jawa. Kami belajar secara otodidak dengan membaca buku, nonton film, membaca artikel di internet, dan apa saja yang kami temukan yang berhubungan dengan teknik pembuatan film, kami memahaminya secara liar dan eksploratif,” terangnya.

Apa yang dikatakan Ucup tentu menggambarkan fenomena sesungguhnya dari komunitas film. Mereka biasanya tak pernah mengenyam pendidikan formal perfilman. Sebutlah nama nominator lainnya yang berhasil memasukkan dua film di kompetisi ini, BW Purba Negara. Lelaki muda yang akrab dipanggil Popo ini pun sejatinya adalah sarjana filsafat. Ia besar di Limaenam Films, komunitas di mana ia bermukim.

Fenomena ini juga ada pada finalis lainnya, Jason Iskandar. Sutradara muda yang disebut-sebut sebagai salah satu wonderkid dunia perfilman nasional ini, malah memilih kuliah pada Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada selepas menamatkan SMA-nya.

Sebelum menjadi nominasi di Festival Film Solo, Territorial Pissings adalah peraih Blencong Award 2010, penghargaan untuk film pendek terbaik di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). Territorial Pissings mampu menyingkirkan Peraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 2010 Kategori Film Pendek, Kelas 5000-an karya Jihad Adjie. Dan seperti halnya Ucup, Jason juga menyatakan optimisme yang kuat untuk bisa menang. “Aku lumayan optimis. Kalau menang tentu akan sangat bagus,” katanya dengan mantap.

Mulyadi Witono adalah satu-satunya nominator yang mengenyam pendidikan formal film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia yang bentukan sekolah akan menghadapi gempuran film-film yang lahir dari sutradara-sutradara yang besar di komunitas dan belajar secara otodidak.

Festival Film Solo akan dibuka pada tanggal 4 Mei jam 19.30 WIB dengan konsep layar tancap di pelataran Gedung Kesenian Solo. Yang mendapat kehormatan sebagai tiga film pembuka adalah Gang Seribu (Ulul Albab, Yogyakarta, 2009), Pigura (Darti dan Yasin, Purbalingga, 2010) dan Gara-gara Bendera (Jeihan Angga, Yogyakarta, 2011).

Jadwal pemutaran dan acara festival bisa didownload di website resmi www.festivalfilmsolo.com* (GS/KF.ORG)

——————

Daftar Film Nominasi Ladrang Award 2011

Territorial Pissings

Jason Iskandar / 7 Menit / Jakarta / 2010

Sepasang remaja terbangun dari tidurnya dalam perjalanan ke luar kota. Percakapan terjadi di antara mereka yang membuat perjalanan tertunda untuk beberapa saat.

Perjalanan Untuk Kembali

Mulyadi Witono / 20 Menit / Jakarta / 2010

Seorang arsitek muda yang sangat sibuk harus mengantarkan ayahnya untuk pulang ke kampung halaman.

Wrong Day

Yusuf Radjamuda / 4 Menit / Palu / 2011

Seorang polisi mengejar kriminal menjelang hari pertamanya bertugas. Namun satu hal memaksa terjadinya percakapan di antara keduanya.

Bermula Dari A

BW Purba Negara / 15 Menit / Yogyakarta / 2011

Tentang hubungan yang sangat biasa antara perempuan tunanetra dengan laki-laki tunarungu-wicara

Say Hello to Yellow

BW Purba Negara / 20 Menit / Yogyakarta / 2011

Sebuah benda kecil membuat seorang anak terjebak ilusi dan kepura-puraan. Sebuah potret kelucuan modernitas yang angkuh dan gagap.

 

Categories
General

Peraih Piala Citra 2010 Kandas di JAFF

YOGYAKARTA – Perhelatan Jogja-Netpac Asian Film Festival 2010 baru saja usai (30/12), namun kejutan terjadi dalam sesi kompetisi. Film Tehran without Permission (Sepideh Farsi) asal Iran berhasil menyabet tiga penghargaan sekaligus, yakni Netpac Award, Geber Award dan mendapat Special Mention dari para juri.

Film yang hanya menggunakan kamera handphone itu mampu memikat para juri untuk memilihnya. Adrian Pasaribu, Joko Narimo dan Elora Rini yang mewakili juri dari komunitas film, misalnya, memilihnya karena metode produksinya yang tanggap dengan situasi sekarang. Dalam jangka pendek, ia dapat diwujudkan oleh komunitas film di Indonesia. Dalam jangka panjang, ia dapat memantik perkembangan film di kalangan komunitas. “Isu yang diangkat oleh Tehran without Permission sangat tajam. Hal teknis menjadi bisa dikesampingkan,” terang Joko.

Blencong Award

Kejutan lain adalah kalahnya peraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2010 Kategori Film Pendek, Kelas 5000-an karya Jihad Adjie. Pada sesi Program Kompetisi Film Pendek Light of Asia, Kelas 5000-an tidak bisa menyaingi film Territorial Pissings karya Jason Iskandar.

Varadila, Ika Krismantari dan Bayu Bergas yang menjadi juri Light of Asia, memenangkan film berdurasi 7 menit ini karena mampu menyampaikan gagasan yang besar dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari lewat penyampaian yang sederhana. Dewan juri juga membuat penilaian berdasarkan pencapaian sinematografis yang sangat layak dan bahwa film ini lahir dari sutradara muda yang memiliki potensi sangat besar untuk bisa berprestasi di Asia dan internasional. (GS/KF.ORG)

Categories
General

Hotel, Lelaki dan Nyonya Muda yang Kesepian

a romantic attachment or episode between lovers

Mobil bak itu berhenti di depan sebuah hotel melati. Ning, si perempuan, tampak gelisah. Sementara Mar, si pria, berbicara dengan pemilik hotel untuk urusan menyewa kamar. “Ada kamar kosong” kata Mur akhirnya pada Ning yang masih di dalam mobil.

Di dalam kamar Ning menghadapkan wajahnya ke arah kipas angin. Khidmat sekali, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Dimatikan kipas angin itu barang sesaat, lalu dinyalakannya kembali. Mur masuk dan berkata bahwa sepertinya akan turun hujan. Ning mengikuti Mur mengangkat sofa dari atas bak mobil di luar, menyelamatkannya dari ancaman hujan. Susah payah diangkutnya sofa hijau itu oleh Ning dan Mur. Keduanya berusaha membagi beban, mengatur peran agar misi sofa selamat dari hujan tercapai.

Ning terbaring kelelahan. Namun ia segera terbangun saat Mur masuk dengan botol Cola yang lalu diberikan untuk Ning. Keduanya menjadi canggung, Mur pun memulai percakapan di dalam kamar itu.

Hujan Tak Jadi Datang karya Yosep Anggi ini menampilkan sebuah perselingkuhan yang canggung, sebuah hubungan yang dingin. Ning dan Mur tak terlihat seperti layaknya sepasang kekasih yang jatuh cinta dan dilanda gejolak asmara. Mereka hadir sebagai sosok-sosok kesepian yang tak bahagia.

*

Se-ling-kuh:

1 suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; 2 suka menggelapkan uang; korup; 3 suka menyeleweng;

Menyaksikan fragmen sepasang lelaki dan perempuan yang datang ke sebuah hotel untuk perselingkuhan, frame kamar-kamar hotel yang sunyi membawa lamunan saya pada puisi Pablo Neruda “Poor Fellow”, “Hotels spy on their guests, windows name names..”. Gustave Flaubert dalam novel Madame Bovary menghadirkan perselingkuhan sebagai sebuah simbol perlawanan pada sistem. Pada abad 18 di mana sistem sosial sangat hipokrit dan menindas, memaksa tubuh menjadi alat politis, sehingga perselingkuhan pada masa itu merupakan sebuah keberanian dan tindakan yang heroik.

Berbeda dengan perselingkuhan Ning dan Mur yang saya lihat sebagai sebuah keputusasaan. Keputusasaan pada pilihan hidup, keputusasaan pada pekerjaan, keputusasaan karena ketakberdayaan, kemalasan, lantas menyerah pada sistem. Mengukuhkan perselingkuhan sebagai sebuah kewajaran bagian dari sistem masyarakat yang korup.

*

As.sump.tion/noun:

a : an assuming that something is true b : a fact or statement (as a proposition, axiom, postulate, or notion) taken for granted

“Sepertinya akan turun hujan..”

Manusia modern semakin teralienasi dari dirinya dan dari alam. Musim tak bisa lagi diprediksi, alam menjalankan sistemnya untuk keseimbangan kehidupan sedang manusia sibuk sendiri. Kecanggungan Ning dan Mur merupakan representasi keterasingan. Ning si perempuan bersikap pasif hanya menunggu ‘aba-aba’ dari Mur si lelaki. Mur bersikap dingin dan kaku, menyadari ucapannya yang salah ia langsung menutup pintu kamar. Semacam eksekusi sepihak dan ‘perintah’ bahwa sudah cukup dengan percakapan.

Kegagalan keintiman yang terbangun dari percakapan diharapkan bisa terbangun saat berhubungan seksual. Apakah itu yang terjadi? Atau seks hanya sebagai wahana pelarian dari realitas untuk kenikmatan sementara? Mood film yang suram dan datar mencapai klimaksnya dari ucapan Mur. Skenario yang cerdas bisa mengubah kalimat sederhana menjadi kata-kata yang bermakna dalam.

“Kamu tak biasa sekamar dengan lelaki?” Mur

“Suamiku kan laki-laki..” Ning

“Maksudku lelaki yang tak kau kenal..” Mur

Ning diam.

“Apakah kau kenal suamimu?”.

Yosep Anggi mengajak kita untuk berselingkuh dengan makna, dengan menghadirkan hantu definisi kata-kata dari kamus bahasa Inggris. Hal ini menarik, apakah bahasa asing itu menjadi sebuah satir akan sejarah diri kita yang diterjemahkan oleh barat? Ataukah bukti ketidakmampuan kita dalam menerjemahkan sejarah diri?

Ah, film ini memang perselingkuhan canggung, perselingkuhan lagu Campur Sari dengan Karaoke. Perselingkuhan pegawai sebuah toko mebel dari pekerjaannya, perselingkuhan toko mebel dari hutan, perselingkuhan hotel dari sistem sosial, perselingkuhan hujan dari awan. Perselingkuhan manusia dari cinta. Perselingkuhan-perselingkuhan sejak dari pikiran.*

 

It’s Not Raining Outside aka Hujan Tak Jadi Datang

Yosep Anggi Noen. Limaenam Films. Fiksi. 16 Menit. Yogyakarta, 2009

Pemain: Andrea Andjaringtyas Adhi, Jamaludin Latief

Pemutaran dan Penghargaan:

– Purbalingga Film Festival, 2009

– Nominasi Film Terbaik, Festival Film Pendek Konfiden, 2009

– Cinemanila International Film Festival, 2009

– International Film Festival Rotterdam (IFFR), 2010

– World Film Festival Bangkok, 2010

– Singapore International Film Festival, 2010

– Asian Hot Shots Berlin, 2010

 

Categories
General

Purnama dan Orang-orang yang Kehilangan

Purnama tidak hanya menggelisahkan serigala jadi-jadian, tapi juga penduduk nelayan di Cilincing, suatu daerah di pesisir Jakarta Utara. Karena pada setiap Purnama, air laut yang pasang membanjiri bilik tempat tinggal mereka. Gambaran kemiskinan penduduk yang kumuh dan segala macam penderitaannya dikemas dengan visual yang puitik dalam Purnama di Pesisir oleh sang sutradara, Chairun Nissa.

Nirma (Desca Intan) seorang gadis perempuan yang kurus, dekil dan tak terurus, terus memeluk bonekanya yang usang yang ia temukan di antara sampah di pinggir pantai. Tatapan matanya kosong, sementara di kejauhan, nampak Mus (Ence Bagus) yang merobohkan bilik-bilik tetangganya. Tinggal bilik Nirma yang belum dihancurkan karena Mus menunggu Malik, ayah Nirma yang tak kunjung tampak batang hidungnya. Di sini Mus menyimpan kegelisahannya sendiri. Dilema antara tidak ingin merobohkan rumah Nirma secara paksa, bertempur dengan godaan segepok uang di tangan yang disimpannya untuk Malik.

Film ini sarat dengan simbol-simbol yang dipilihnya. Gambaran tiga kakak-beradik Tionghoa dengan abu sang ayah dalam guci keramik, membawa memori kita akan korban kerusuhan di negeri ini. Sampah-sampah yang menyangkut di jaring ikan, kita bisa melihatnya sebagai simbolis ikan yang diganti tumpukan sampah. Lalu bendera merah-putih yang koyak, sudah jelas sindiran atas pemerintah yang tak peduli pada warganegaranya. Simbol-simbol dalam film ini bercerita tentang kehilangan. Kehilangan tempat berlindung, kehilangan ayah dan keluarga, kehilangan harapan dan hilangnya kepercayaan akan negara. Kesemua kehilangan ini menjadi sebuah lingkaran utuh bak bulan purnama yang hanya indah dilihat dari kejauhan tapi di balik keindahannya ada bencana bagi sebagian orang. Film pendek yang berdurasi 16 menit ini sebetulnya cerewet mengisahkan banyak hal.

Film ini sangat minim dialog. Narasi sebagai benang merah cerita memanfaatkan suara penyiar di Radio Komunitas Para Nelayan. Di sini narasi terasa tak klop dengan keseluruhan simbol tadi. Karena jika film ini bercerita melalui simbol, keberadaan narasi sebenarnya bisa ditiadakan. Hal lain yang menyulitkan dari film ini ialah membangun karakter yang kuat. Secara gesture tubuh para tokoh dituntut mampu berbicara banyak dengan segala bahasa tubuhnya. Akting pun harus muncul sewajar mungkin bukan sebuah akting yang teatrikal. Meski tokoh Nirma tak perlu menitikan air mata untuk menunjukkan kesedihannya, dia tetap harus mampu memunculkan kesedihan dari tatapan matanya itu, meyakinkan penonton sehingga rasa sedih itu bisa dirasakan.

Saya adalah orang yang percaya bahwa kehidupan ini tak hanya terdiri dari sederet catatan kehilangan, melainkan juga ada kisah penemuan. Meski Purnama di Pesisir berbicara banyak akan kehilangan, tapi film ini pun mengisahkan sebuah penemuan: seorang sutradara muda yang menjanjikan.*

 

Purnama di Pesisir

Produser: Laili Handayani

Sutradara: Chairun Nissa

Penata Artistik: Maria Nunik

Penulis Skenario: Damas Cendekia

Penata Kamera: Anggi Frisca

Produksi: Institut Kesenian Jakarta, 2009

Pemutaran dan Penghargaan:

-Festival Film Indonesia, 2010

– Rotterdam International Film Festival, 2010

– V Film Festival, Indonesia, 2010

– Special Jury Mention Award, Roma Independent Film Festival, 2010

– Short Competition, Balinale International Film Festival, 2010